21 Mei 2012



HUKUM KEWARISAN ISLAM

A.    Pengertian Kewarisan Islam
Setiap manusia pasti mengalami peristiwa kelahiran dan kematian. Peristiwa kelahiran seseorang tentu akan menimbulkan akibat-akibat hukum, seperti timbulnya hubungan hukum dengan orang senasab, dan munculnya hak dan kewajiban pada dirinya. Peristiwa kematianpun akan menimbulkan akibat hukum kepada orang lain, terutama pada pihak keluarga dan pihak-pihak tertentu yang mempunyai hubungan dengan orang tersebut semasa hidupnya.
Dalam hal meninggalnya seseorang, pada prinsipnya segala kewajiban perorangannya tidak beralih pada pihak lain. Sedangkan harta kekayaan dari yang meninggal tersebut beralih pada pihak lain.yang masih hidup, yaitu orang-orang yang telah ditetapkan sebagai penerimanya. Proses peralihan harta kekayaan dari yang meninggal kepada yang masih hidup inilah yang diatur  oleh hukum kewarisan atau ilmu faraid.[1]
Dalam proses peralihan harta kekayaan dari yang meninggal kepada yang masih hidup, syari’at Islam telah meletakkan sistem kewarisan dalam aturan yang paling baik, bijak dan adil. Al-Qur’an menjelaskan hukum-hukum waris dan ketentuan bagi setiap ahli waris dengan lengkap dan sempuran tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Bagi setiap laki-laki dan perempuan ada hak yang akan diperolehnya dari harta ynag ditinggalkan oleh pewaris, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisaa’ ayat 7 menyatakan :

Artinya : Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian ( pula ) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan (an-Nisaa’ : 7)[2]

Dalam membicarakan pengertian kewarisan ada dua istilah yang mengacu kepada pengertian yang sama, yaitu al-mawaris atau disebut juga dengan fiqh mawaris dan faraidh.
Lafaz mawaris (موارث) berasal dari bahasa Arab merupakan bentuk jama’ dari kata al-mirats  (الميراث) yang berarti perpindahan kepemilikan harta.[3]
Wahbah az-Zuhaili dalam bukunya Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu menjelaskan
اللإرث لغة : هو بقاء شخص بعد موت اخر بحيث يأخذ الباقي ما يخلفه الموت[4]

Artinya : Al-Irts menurut bahasa adalah ketetapan mengenai hak seseorang setelah meninggalnya seseorang yang lain dengan mengambil sesuatu (harta) yang ditinggalkan si mayat.

Istilah al-irts ( الإرث ) atau mirats ( ميراث ) secara etimologi adalah bentuk masdar dari kata waratsa, yaritsu, irtsan (  ورث – يرث – ارثا) artinya perpindahan hak milik atau perpindahan pusaka.[5]
Dari pengertian al--irts secara bahasa yang dikemukakan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa mawaris itu secara bahasa ialah berpindahnya harta seseorang (pewaris) kepada orang lain (ahli waris) setelah ia meninggal dunia.
Menurut istilah fiqh, pengertian kewarisan itu ialah sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah az- Zuhaili :
والارث عند فقه الاسلام هو  ما خلفه الموت من الأموال والحقوق التي يستحقها بمرتبة الوارث الشرعي[6]

Artinya : Al-Irts menurut fiqh Islam ialah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, berupa harta atau hak-hak yang hak tersebut diperoleh sesuai dengan bagian seseorang sebagai ahli waris yang telah ditetapkan oleh syara’.




Sedangkan menurut Badran Abu ‘Inaini, kewarisan ialah :
الإرث : خلافة عن الميت حقيقة او حكما في ماله بسبب زواجه او قرابته او ولاء[7]
Artinya : AI-irts ialah pergantian (hak) dari orang yang meninggal dunia menurut hakikat (benar-benar meninggal) atau meninggal menurut hukum (meninggal berdasarkan putusan pengadilan) mengenai hartanya dengan sebab perkawinan, kekerabatan, atau wala’ (memerdekakan budak).

Secara terminologi, al-irts adalah berpindahnya hak pemilikan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup baik yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.
Amir Syarifuddin mengatakan pengerrtian hukum kewarisan adalah segala ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup, yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan kepada wahyu ilahi yang terdapat dalam al-Qur’an dan penjelasan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW.[8]
Sedangkan menurut buku Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, dalam Bab I Ketentuan Umum pasal 171 huruf a, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.[9]
Disamping istilah mawaris, para ulama juga menggunakan istilah faraidh, yaitu bentuk jama’ dari kata faridhahفريضة ) yang diambil dari kata faradha (فرض  ) dengan arti ketentuan atau ketetapan yang pasti.[10]
Istilah faraid dikhususkan untuk bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara’. Faraidh oleh ahli ilmu faraidh diartikan sebagai berikut :
الفقه المتعلق بلإرث و معرفة الحساب الموصل الي معرفة ذلك و معرفة قدر الوا جب من التركة لكل ذي حق[11]
Artinya : Ilmu Fiqh yang berkaitan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara pembagian yang dapat menyampaikan pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pmilik harta pusaka.

Dalam Kitab Hasyiyah al-Dasuki karangan Muhammad ibn Ahmad Urfah ad-Dasuki dikemukakan definisi faraidh sebagai berikut :
ويسمي علم الفراءض و علم المواريث هو علم يعرف به من يرث ومن لا يرث ومقدار ما لكل وارث[12]
Artinya : Dinamai juga ilmu faraidh dan ilmu mawaris, suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui orang yang mendapat harta warisan, orang yang tidak mendapat harta warisan sesuai dengan bahagian masing-masing.

Faraid menurut Sayid Sabiq adalah :
الفراءض جمع فريضة مآخوذة من الفرض و الفرض في الشرع هو النصيب المقدر للوارث ويسمي العلم بها علم الميراث وعلم الفراءض[13]

Artinya : Faraidh(فرائض)  jama’ dari faridhah ( فريضة ) yang diambil dari kata fardhu(فرض  ). Menurut syara’ adalah bagian yang ditentukan untuk ahli waris dan ilmu yang mempelajarinya disebut ilmu mawaris dan ilmu faraidh.

Sedangkan Ibnu Qasim al-Gaziy mendefenisikan faraidh sebagai berikut :
والفراءض جمع فريضة بمعني مفروضة من الفرض بمعني التقدير والفرض شرعا اسم لنصيب مقدر لمسحقه[14]
Artinya : Kata faraidh (   فرائض) merupakan jama’ faridhah (  فريضة ) dengan makna beberapa kewajiban yang telah ditentukan dan fardhu (فرض) menurut syara’ adalah nama bagi satu pembagian yang telah ditentukan bagi orang yang berhak.

Jadi ilmu waris atau ilmu faraid adalah ilmu yang mempelajari tata cara perpindahan dan pembagian harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya, siapa yang menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing mereka.
Bagi seorang muslim, tidak terkecuali apakah ia laki-laki ataupun perempuan, diwajibkan untuk mempelajari hukum waris ini dan mengajarkannya kepada orang lain.[15] Hal itu dinyatakan dalam hadist Nabi SAW :
حدثنا ابراهيم بن المنذر الحزامي حدثنا حفص بن عمر بن ابي العطاف حدثنا ابو الزناد عن ا لأعرج عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلي الله عليه وسلم : يا أبا هريرة , تعلموا الفرائض و علموها فانه نصف العلم وهو ينسي وهو اول شئ ينزع من أمتي (رواه ابن ماجه و ابو هريرة)[16]

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Mundzir al-Hizami, telah menceritakan kepada kami Hafsah bin Umar bin Abi al_’Ithaf, telah menceritakan kepada kami Abu az-Zinad dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata : Rasul SAW bersabda : “wahai Abu Hurairah ! pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah ia. Sesungguhnya ia adalah setengah ilmu dan ia aka dilupakan. Ia adalah ilmu yang pertama kali diangkat dari umatku “(HR. Ibnu Majah dan Abu Hurairah)

Hadist ini berisi perintah untuk mempelajari ilmu waris atau ilmu faraid dan mengajarkannya. Dengan mempelajarinya, maka seseorang akan tahu dengan ketentuan hukum kewarisan dan dapat menyelesaikan pembagian harta warisan sesuai dengan ketentuannya. Pada akhirnya, hukum kewarisan sebagai sebuah hukum yang mempunyai kedudukan penting dan dikhawatirkan akan hilang oleh Rasulullah SAW dapat diterapkan dan akan tetap lestari ditengah-tengah kehidupan umat Islam.
B.     Dasar Kewarisan Islam
Adanya aturan-aturan yang mengatur tentang kewarisan dalam Islam akan menghindari penindasan oleh orang-orang yang berkuasa terhadap orang yang lemah tentang harta warisan. Aturan-aturan tentang kewarisan ini dapat dijumpai dalam al-Qur’an dan Sunnah, baik berupa penjelasan secara langsung ataupun tidak langsung. Sumber-sumber dari aturan inilah yang disebut dengan dasar hukum dalam kewarisan.
Adapun dasar hukum tersebut adalah :
1.      Al-Qur’an
Banyak ayat al-Qur’an  yang menjelaskan tentang harta pusaka dan ahli warisnya, diantaranya adalah :
a.       Surat an-Nisaa’ ayat 33 :
 Artinya : Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-peawarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagian. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu (an-Nisaa’ : 33)[17]

Ayat diatas menjelaskan ada yang mewarisi harta yang ditinggalkan oleh ibu bapak dan karib kerabat, tetapi tidak dijelaskan bagian yang akan diperoleh oleh ahli waris.
Ayat yang menjelaskan tentang aturan pembagian harta warisan, diantaranya terdapat dalam surat an-Nisaa’ ayat 7, 8, 10, 11, 12. 34, 176 dan surat al-Anfaal ayat 75.
b.      Firman Allah dalam surat an-Nisaa’ ayat 7 menyatakan :
Artinya :  Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (Surat an-Nisaa’ : 7)[18]

Ayat ini menghapus aturan kewarisan yang berlaku dalam hukum kewarisan jahiliyah, sebab kebiasaan orang Arab di zaman jahiliyah, harta warisan yang ditinggalkan hanya diberikan kepada laki-laki yang sanggup berperang saja, sedangkan yang diluar ketentuan itu tidak diberikan warisan, seperti anak laki-laki yang tidak (belum) sanggup untuk berperang dan anak wanita, walaupun mereka dalam keadaan yatim, mereka tidak akan diberikan harta warisan dari peninggalan orang tuanya. Namun setelah diturunkannya ayat ini, kebiasaan bangsa Arab waktu itu berangsur-angsur mulai berubah.
c.       Surat an-Nisaa’ ayat 8 menyatakan :
#sŒÎ)ur uŽ|Øym spyJó¡É)ø9$# (#qä9'ré& 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ßûüÅ6»|¡yJø9$#ur Nèdqè%ãö$$sù çm÷YÏiB (#qä9qè%ur óOçlm; Zwöqs% $]ùrã÷è¨B  

Artinya : Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya), dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.[19]

Ayat 8 ini menjelaskan bahwa apabila hadir kerabat yang tidak memgpunyai hak waris, anak yatim dan orang miskin pada waktu pembagian harta warisan maka hendaklah memberikan sebahagian harta warisan tersebut kepada mereka. Dan diperintahkan juga agar kita mengucapkan perkataan yang baik dan pantas.
d.      Firman Allah dalam surat an-Nisaa’ ayat 11 menyatakan : 

Artinya : Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu yaitu : bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masing mereka seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibu mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[20]

Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa bahagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Bila pewaris mempunyai anak perempuan lebih dari dua orang, maka ia mendapat dua pertiga dari harta warisan. Jika anak perempuan seorang saja, ia mendapat separoh (seperdua). Ibu dan bapak mendapat masing-masing seperenam, jika pewaris mempunyai anak. Tapi bila pewaris tidak  mempunyai anak, ibu mendapat sepertiga dengan syarat tidak ada ahli waris yang lain. Jika yang meninggal mempunyai saudara-saudara, maka ibu mendaapat seperenam.
e.       Firman Allah dalam surat an-Nisaa’ ayat 12 berbunyi :
Artinya : Dan bagimu (suami-istri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat, atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan  jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah di penuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutnag-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara –saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka berserikat dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yang benar-benar dari Alllah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (Surat an-Nisaa’ : 12)[21]

f.       Firman Allah dalam surat an-Nisaa’ ayat 176 yang berbunyi :

Artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah) katakanlah : Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudara perempuannya tersebut seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki—laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari ) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak dua kali bagian seorang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (surat an-Nisaa’ :176)[22]

Ayat diatas menjelaskan tentang bagian yang didapat oleh istri, suami dan bagian saudara-saudara dari harta yang ditinggalkan oleh pewaris.
g.      Firman Allah dalam surat al-Anfal ayat 75 :
Artinya : …..dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya ( dari pada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Surat al-Anfal : 75)[23]

Ayat ini menjelaskan bahwa diantara orang –orang yang  mempuyai hubungan kerabat ada yang lebih diutamakan dari yang lainya.
2.      Hadits
Hadist-hadist yang membicarakan tentang masalah waris diantaranya :
a.       Hadist tentang cara untuk mengadakan pembagian warisan
عن ابن عباس قال : قال النبي صلي الله عليه و سلم : الحقوا الفراءض بأهلها فما بقي فلأولي رجل ذكر (متفق عليه)
Artinya : Dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi SAW bersabda : berikanlah harta warisan kepada orang yang berhak menerimanya, jika harta tersebut bersisa, maka ia untuk lelaki yang terdekat (HR. Bukhari dan Muslim)[24]

Hadist diatas menjelaskan bahwa kita diwajibkan untuk memberikan atau mengadakan pembagian harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya, dan apabila ada sisa harta setelah pembagian tersebut, diberikan kepada laki-laki yang terdekat.
b.      Hadist yang menjelaskkan tentang bagian kakek jika cucunya meninggal sedangkan ia tidak mempunyai bapak.
عن عمران ابن حصين رضي الله تعالي عنه قال : جاء رجل الي النبي صلي الله عليه و سلم فقال: ان ابن ابني مات فمالي من ميراسه ؟ فقال لك السدس فلما ولي دعاه, فقال لك سدس أخر فلما ولي دعاه فقال ان السدس الأخر طعمة (رواه احمد ولأربعة و صححه الترمذي)[25]
Artinya : Dari ‘Imran bin Hussein ra. beliau berkata : seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW seraya berkata : sesungguhnya cucu laki-laki dari anak laki-laki saya yang sudah meninggal, lalu berapakah bagian saya dari harta warisannya?? Beliau menjawab : bagian untuk kamu seperenam. Setelah orang itu pergi, beliau memanggilnya kembali dan beliau bersabda : untukmu seperenam lagi. Setelah orang itu pergi, beliau memanggilnya kembali dan bersabda : sesnugguhnya seperenam yang kedua adalah tambahan ( diriwayatkan oleh Ahmad dan Arba’ah dan dinilai shahih oleh Tarmizi)

Hadist diatas menjelaskan bahwa apabila cucu meninggal, dan meninggalkan seorang kakek, maka bagian kakek adalah  seperenam dari harta warisan, dengan syarat cucu yang meninggal tersebut tidak mermpunyai bapak.
c.       Hadist tentang orang beda agama tidak saling mewarisi
عن أسامة بن زيد ان النبي صلي الله عليه و سلم قال : لا يرث المسلم الكافر و لا يرث الكافر المسلم (رواه مسلم)[26]
Artinya : Dari Usamah bin Zaid ra. ia berkata : Nabi SAW bersabda : orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim (HR. Muslim)

Hadist diatas menjelaskan bahwa orang muslim tidak boleh mewarisi harta orang kafir dan begitu juga sebaliknya orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang muslim.
d.      Hadist yang menjelaskan tentang terhalangnya kewarisan orang yang membunuh pewaris untuk memperoleh harta warisan.
عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده رضي الله عنهم قال : قال رسول الله صلي الله عليه و سلم : ليس للقاتل من الميراث شيء
(رواه النسائ)[27]
Artinya : Dari ‘Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari neneknya ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : tidak ada hak waris bagi orang yang membunuh terhadap harta warisan sedikitpun (HR. Nasai)
Hadist diatas menjelaskan bahwa seorang pembunuh tidak ada haknya untuk mendapatkan harta warisan dari harta orang yang dibunuhnya sedikitpun.
C.    Asas Kewarisan Islam
Sebagai hukum agama yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW, maka hukum kewarisan Islam mengandung asas-asas yang mempunyai corak tersendiri, berbeda dengan hukum kewarisan lain.
Asas-asas hukum kewarisan itu adalah sebagai berikut :
1.      Asas Ijbari (memaksa)
Dalam hukum Islam peralihan harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya, yang dalam pengertian hukum Islam berlaku secara ijbari. Ijbari secara etimologi mengandung arti paksaan (compulsory) yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Maka dalam kewarisan Islam, asas ijbari berarti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah mati kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah SWT, tanpa tergantung kepada kehendak ahli waris atau pewaris. Unsur memaksa dalam hukum waris ini karena kaum muslimin terikat untuk taat kepada hukum Allah SWT sebagai konsekuensi logis dari pengakuan kepada ke-Maha Esa-an Allah dan kerasulan Muhammad SAW seperti yang dinyatakan melalui dua kalimat syahadat.[28]
Maksud unsur paksaan yang sesuai dengan arti istilah ijbari tersebut terlihat dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima kenyataan perpindahan harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan (furudhul muqaddarah). Jadi bukanlah yang dimaksud dengan istilah ijbari itu bahwa setiap ada kematian maka harta wajib dibagikan sesegera mungkin, sebab sistem kewarisan Islam tidak mengenal sifat paksaan untuk melakukan pembagian harta warisan dalam waktu tertentu atau membiarkan harta warisan dalam keadaan tidak dibagi.
Dengan adanya kematian si pewaris, maka hartanya secara otomatis beralih kepada ahli waris tanpa terkecuali apakah ahli warisnya suka menerima atau tidak.
Asas memaksa dalam kewarisan ini dapat dilihat dari tiga segi yaitu :
a.       Dari segi peralihan harta
Terjadinya peristiwa kematian secara otomatis menyebabkan terjadinya peralihan harta dari si mayit kepada orang yang masih hidup. Peralihan ini berlangsung dengan sendirinya tanpa bisa dicegah oleh si pewaris maupun ahli waris.
Hal ini dapat dipahami dari kata nashib  (نصيب) yang artinya bagian, saham, dan jatah, bahwa disadari atau tidak dalam harta pewaris telah terdapat hak ahli waris.
b.      Dari segi jumlah harta yang beralih
Bagian masing-masing ahli waris sudah ditentukan dan sudah ada ketika peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris terjadi. Pewaris maupun ahli waris tidak bisa menentukan besar kecilnya bagian tersebut karena semuanya telah ditentukan dan ditetapkan dalam ketentuan yang ada dalam faraid.
Hal ini dapat dipahami dari kata mafrudhan ( مفروضا ) yaitu ditentukan atau diperhitungkan, bahwa sudah ditentukan jumlahnya dan harus dilakukan sedemiklian rupa secara mengikat dan memaksa.
c.       Dari segi kepada siapa harta itu beralih
Begitupun kepada siapa harta tersebut akan beralih, tidak bisa ditentukan oleh pewaris maupun ahli waris. Orang –orang yang akan menerima harta tersebut sudah ditentukan sesuai dengan hubungan dan kekerabatannya kepada si mayit.
Dapat dipahami bahwa orang-orang yang berhak atas harta tesebut sudah ditentukan secara pasti, sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusiapun dapat mengubahnya, seperti yang tercantum dalam surat an-Nisaa’ ayat 11, 12, dan 176.
2.      Asas Bilateral
Asas bilateral dalam hukum kewarisan berarti bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.[29]
Asas bilateral ini juga tercermin dalam surat an-Nisaa’ ayat 7, 11, 12 dan 176 yaitu :
a.                Ayat 7 menyatakan bahwa bagi seorang laki-laki dan perempuan sama berhak mendapatkan harta warisan baik dari ayah maupun dari ibu.
b.               Ayat 11 menyatakan bahwa ayah dan ibu sama-sama berhak mendapatkan warisan dari anaknya baik laki-laki maupun perempuan.
c.                Ayat 12 dan 176 menyatakan bahwa saudara laki-laki dan saudara perempuan sama-sama berhak mendapatkan warisan apabila pewaris seorang laki-laki atau perempuan yang punah (tidak punya keturunan). Dan saudara perempuan menerima warisan apabila seorang laki-laki tidak punya keturunan, begitu pula sebaliknya laki-laki menerima warisan apabila seorang perempuan tidak punya keturunan.
Berdasarkan uraian tentang asas bilateral diatas maka dapat penulis simpulkan bahwa bagi ahli waris baik laki-laki maupun perempuan memperoleh hak waris dari dua belah pihak yakni dari pihak laki-laki dan pihak perempuan.

3.      Asas Individual
Asas individual dalam hukum kewarisan berarti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Keseluruhan harta dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagikan, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing. Hal ini karena dalam al-Qur’an telah ditentukan bagian masing-masing ahli waris.[30]
Terhadap harta warisan yang telah diterima oleh masing -masing ahli waris, mereka berhak berbuat atau bertindak atas harta yang diperolehnya (bertasharuf). Ahli waris yang telah punya kemampuan untuk bertindak hukum atas harta warisan yang diterimanyan tersebut, yakni telah punya ahliyat al-ada’’ dan ahliyat al- wujub sekaligus. Ahliyat al-Ada’ adalah sikap kecakapan bertindak seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Sedangkan Ahliyat al-Wujub adalah sifat kecakapan seseorang untuk meneima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban. Sedangkan ahli waris yang masih kecil dan belum mampu untuk bertindak hukum, maka hartanya berada dibawah penguasaan walinya.[31]
Asas individual ini dapat juga dikaji dalam firman Allah surat an-Nisaa’ ayat 7, 11, 12 dan 176 yaitu dengan disebutkannya jumlah masing-masing ahli waris (furudhul muqaddarah) dari harta warisan pewaris tersebut untuk dimilikinya secara penuh.
4.      Asas Keadilan Berimbang
Maksud dari asas keadilan berimbang ini adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Atas dasar  itulah terlihat asas keadilan dalam hukum kewarisan Islam. Secara dasar dapat dikatakan bahwa faktor perbedaan kelamin laki-laki dan perempuan tidak menentukan dalam hak kewarisan. Adanya perbedaan dari segi jumlah yang didapatkan karena ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam menjalankan kewajibannya. Dan laki-laki dibebani tanggung jawab untuk menafkahi. Laki-laki membutuhkan materi yang lebih banyak dari perempuan, karena ia memikul tanggung jawab ganda, yaitu terhadap dirinya sendiri dan terhadap keluarganya (termasuk perempuan). Bila dikaitkan pendapatan dengan kewajiban dan tanggung jawab tersebut maka akan terlihat bahwa laki-laki akan merasakan manfaat dari apa yang diterimanya sama dengan yang dirasakan perempuan. Inilah bentuk keadilan dalam konsep Islam. [32]


5.      Asas Semata Akibat Kematian
Asas kewarisan semata akibat kematian ini digali dari kata-kata waratsa
ورث) yang terdapat dalam al-Qur’an, yang mengandung maksud peralihan harta itu sesudah kematiannya.
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan nama kewarisan, berlaku sesudah meninggalnya yang mempunyai harta. Asas ini berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup secara langsung, maupun terlaksana sesudah kematiannya tidak termasuk kepada istilah kewarisan dalam hukum Islam.
D.    Takharuj Dalam Hukum Kewarisan Islam
Pada hakikatnya takharuj termasuk kedalam salah satu bentuk penyesuaian dalam pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam. Takharuj adalah mekanisme pembagian harta warisan dengan menempuh jalan perdamaian, yaitu perdamaian diantara seluruh ahli waris dengan mengadakan kesepakatan terhadap bagian yang akan diterima.[33]
1.      Defenisi Takharuj
Takharuj berasal dari kata  (خرج-يخرج-خروجا )  kharaja, yakhruju, khuruujan dengan makna keluar, dengan timbangan tafa’ul (تفاعل ), yaitu ( تخارج- يتخارج – تخارجا ) takharaja, yatakharju, takharujan dengan makna saling keluar. Artinya ahli waris keluar dari kedudukannya sebagai ahli waris.
Wahbah az-Zuhaili mendefenisikan takharuj sebagai berikut :
اتفاق الورثة باخراج بعضهم من الميراث ببدل شئ من التركة او غيرها[34]
Artinya : Kesepakatan ahli waris mengeluarkan sebagian dari mereka dari harta warisan, dalam bentuk pertukaran sesuatu yang diambil dari tirkah atau yang lainnya.

Pengertian diatas menjelaskan bahwa takharuj itu adalah adanya kesepakatan ahli waris dalam menyelesaikan pembagian harta warisan, dengan mengeluarkan sebagian dari mereka yang juga ahli waris, dengan memberikan imbalan yang diambilkan dari tirkah (harta peninggalan) atau dari sumber lainnya.
Abu Zahrah mengartikan takharuj sebagai berikut :
التخارج هو ان يتصالح بعض الورثة علي قدر معلوم في نظير ان يترك حصته فيها, سواء أكان التصالح مع الورثة  مجتمعين أم مع بعضهم[35]
Artinya : Takharuj adalah perdamaian sebagian ahli waris terhadap sejumlah harta tertentu, dengan melepaskan bagiannya di dalam harta tersebut, yang dilakukan oleh keseluruhan ahli waris atau sebagian ahli waris saja.

Pengertian diatas menyatakan bahwa takharuj adalah kesepakatan damai oleh seluruh ahli waris atau sebagian ahli waris saja, dalam pembagian harta warisan, dengan adanya ahli waris yang keluar dan tidak mengambil bagiannya.
Muhammad Musthafa Tsalabi juga mendefenisikan takharuj sebagai berikut :
التخارج هو آن يتصالح الورثة علي اخراج بعضهم من الميراث في مقابل شئ معلوم من التركة او من غيرها, سواء اكان هذا التصالح من كل الورثة او من بعضهم[36]
Artinya : Takharuj adalah bersepakatnya ahli waris untuk mengeluarkan sebagian mereka dari harta warisan dalam bentuk pertukaran sesuatu yang diambil dari tirkah atau yang lainnya, baik dilakukan oleh seluruh ahli waris atau sebagian mereka.

            Defenisi diatas menjelaskan bahwa takharuj adalah kesepakatan dari seluruh atau sebagian ahli waris untuk mengeluarkan sebagian mereka dari pembagian harta warisan, dengan memberikan imbalan yang diambilkan dari tirkah atau dari yang lainnya.
Sedangkan Amir Syarifuddin mendefenisikan takharuj sebagai sebuah kesepakatan yang dilakukan oleh sebagian atau seluruh ahli waris untuk mengeluarkan salah seorang dari mereka sebagai ahli waris, dengan memberikan sejumlah harta yang diambil dari ahli waris sendiri atau dari harta warisan.[37]
2.      Bentuk-bentuk takharuj
Ada beberapa bentuk takharuj, yaitu :
1.      Dari segi waktu pelaksanaan, ada dua bentuk[38] :
a.       Sebelum harta warisan dibagi
Artinya kesepakatan yang dilakukan oleh ahli waris dilakukan sebelum dilaksanakannya pembagian harta warisan menurut ketentuan faraid secara formal. Ini berarti ahli waris berkeinginan untuk menyelesaikan pembagian harta warisan di luar ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’.
b.      Sesudah harta warisan dibagi
Artinya takharuj dilakukan setelah dilakukan pembagian harta warisan menurut ketentuan syara’ secara formal dan masing-masing ahli waris telah mengetahui bagiannya masing-masing.
2.      Dari segi kesepakatan ahli waris
Dalam hal ini, ada dua bentuk takharuj yaitu :
a.       Kesepakatan dilakukan oleh satu orang atau sebagian ahli waris dengan ahli waris yang akan keluar.
b.      Kesepakatan dilakukan oleh seluruh ahli waris. [39]
3.      Dari segi imbalan yang diberikan
Dalam hal ini ada tiga bentuk :
a.       Imbalan diberikan dari harta salah seorang ahli waris yang melakukan kesepakatan.
b.      Imbalan diberikan dari harta seluruh ahli waris yang melakukan kesepakatan.
c.       Imbalan diberikan dengan mengambil bagian tertentu dari harta warisan.[40]
Artinya para ahli waris disini dapat melakukan kesepakatan dari mana imbalan akan diambil. Hal itu bisa dilihat dari siapa yang melakukan kesepakatan. Bisa saja imbalan diambil dari harta salah seorang ahli waris dan bisa juga dari harta keseluruhan ahli waris. Atau jika disepakati imbalan bahkan bisa diambil dari harta warisan.
Penjelasan tentang takharuj tersebut memperlihatkan bahwa musyawarah dan kesepakatan merupakan dasar utama dalam takharuj. Dengan musyawarah maka dapat ditentukan siapa yang akan memberikan imbalan dan dari mana imbalan tersebut akan diambil.
Penulis melihat bahwa pembagian harta warisan dengan menggunakan asas musyawarah ini, yang berbeda dari tata cara pembagian warisan sebagaimana yang telah ditentukan dalam al-Qur’an dan hadist, bertitik tolak dari sudut pandang terhadap sifat hukum itu sendiri, yaitu :
1.      Hukum yang bersifat memaksa
2.      Hukum yang bersifat mengatur
Disebut sebagai hukum yang bersifat memaksa apabila ketentuan yang tidak dapat dikesampingkan, maksudnya benar-benar tidak bisa larangan atau perintah dalam hukum tersebut untuk dikesampingkan, yang jika tidak diperbuat dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum.
Sedangkan hukum yang bersifat mengatur maksudnya apabila teks hukum yang ada dapat dikesampingkan (tidak dipedomani) seandainya para pihak berkeinginan lain (sesuai kesepakatan atau musyawarah diantara mereka), dan kalaupun ketentuan hukum tersebut tidak dilaksanakan, perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum.
Bagi kalangan yang berpendapat bahwa pembagian harta warisan tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang telah terdapat dalam al-Qur’an maupun Hadist, melihat bahwa sifat hukumnya adalah memaksa. Secara normatif, aturan-aturan tersebut harus diikuti dan dilaksanakan apa adanya, meskipun hanya sebagai formalitas saja.
Sedangkan kelompok yang berpendapat bahwa pembagian harta warisan itu boleh menyimpang dari ketentuan al-Qur’an dan Hadist, disebabkan karena ketentuan-ketentuan tersebut hanya bersifat hukum yang mengatur, dan oleh karena itu dapat  atau boleh tidak dipedomani apabila ahli waris berkehendak lain.
Takharuj sendiri merupakan salah satu bentuk pembagian harta warisan yang mengkesampingkan ketentuan-ketentuan faraid. Takharuj adalah mekanisme pembagian harta warisan yang mengutamakan prinsip-prinsip perdamaian, dengan mengakomodir kehendak dari seluruh ahli waris.
Amir Syarifuddin berpendapat bahwa penolakan terhadap takharuj pada dasarnya terletak pada dua hal, yaitu :
1.      Pembagian harta warisan dengan cara takharuj bertentangan dengan asas ijbari. Hal ini karena ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam faraid bersifat memaksa dan oleh karena itu harus diikuti. Dan jika tidak dilaksanakan dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum.
2.      Meskipun ada yang menganggap takharuj sebagai jual beli, tetapi jual beli tersebut belum terpenuhi rukunnya, yaitu barang yang diperjualbelikan, yang dalam hal ini adalah bagian ahli waris yang keluar tersebut. Karena harta tersebut belum dibagi, maka bagian ahli waris tersebut belum jelas dan belum dianggap ada, sehingga dianggap belum memenuhi rukun jual beli.[41]
Pendapat ini memperlihatkan bahwa secara formal dan material harta warisan harus dibagi berdasarkan ketentuan faraid. Secara formal berarti bahwa proses dan cara pembagiannya harus sesuai dengan ketentuan faraid. Sedangkan secara material bahwa bagian masing-masing ahli waris dari  harta warisan harus diberikan sehingga dapat dimiliki.
Sementara kalangan yang membenarkan pembagian harta warisan dengan cara takharuj adalah ulama-ulama Hanafiah. Jadi pada bab selanjutnya penulis akan membahas secara mendalam mengenai pendapat Hanafiah yang membolehkan takharuj ini.     





[1] Suparman Usman, dkk, Fiqh Mawaris, (Hukum Kewarisan Islam), (Jakarta : Gaya Gramedia Pratama, 1997), h. 1
[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemhannya., (Bandung : Diponegoro, 2008), h. 78
[3] Hasby as-Shiddiqy, Fiqh Mawaris, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), h. 5
[4] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al- Islami Wa Adillatuhu (Suriah : Dar al-Fikr, 1948), h. 243
[5] Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an Suatu Kajian Dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 23
[6] Wahbah az -Zuhaili, loc. cit
[7] Badran Abu  ‘Inaini, al-Mawaris Wa al-Hibah Fi Syari’ah al-Islamiyah Wa al-Qunun, (Mesir : t. tp. t. th), h. 26
[8] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Prenada Media, 2004), h. 4
[9] Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 1991), h. 98
[10] Ali Parman, op. cit, h. 24
[11] Fathur Rahman,  Ilmu Waris, (Bandung : al-Ma’arif, 1981), Cet. Ke-2
[12] Muhammad bin Ahmad ad-Dasuki, Hassyiyah ad-Dasuki, (Beirut : Dar al-Fikr, t.th), juz 6, h. 547
[13] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, ( Beirut : Dar al-Fikr, t. th) Juz 3 h. 424
[14] Ibnu Qasim al-Gaziri, al-Baijuri ‘Ala Ibnu Qasim al-Gaziy, (Jakarta : t. th), juz 2, h. 66
[15] Abdullah Siddik, Hukum Waris Islam, (Jakarta : Widjaya, 1984) h. 12
[16] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Kairo : Darul Fikri), juz 2 h. 107
[17] Departemen Agama RI, op. cit, h. 83
[18]Ibid, h. 78
[19]Ibid, h. 78
[20] Ibid, h. 78
[21] Ibid, h. 79
[22]Ibid, h. 106
[23] Ibid, h. 186
[24] Hussein Bahreisy, Himpunan Hadist Shahih Bukhari, (Surabaya : al-Ikhlas, 1981), h. 357
[25] Hafiz ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughu al-Maram, (Bandung : al-Ma’arif, t,th) h. 196
[26] Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul as-Salam, (Bandung : Dahlan, 1962), h. 98
[27]Ibid
[28] Amir Syarifuddin, op. cit, h. 7
[29] Ibid, h. 12
[30] Ibid, h. 13
[31] Abdullah Siddik, op. cit., h. 16
[32] Amir Syarifuddin, op. cit., h. 17
[33]Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta : Gunung Agung ), h. 104
[34] Wahbah az-Zuhaili, loc. cit
[35] Abu Zahrah, Ahkam at Tirkah wal Mawaris, (Kairo : Darul Fikri Arabi) h. 217
[36] Muhammad Musthafa Tsalabi, Ahkam al-Mawaris baina al-Fiqh wa al-Qanun, (Beirut : Dar an-Nahdhah al-‘Arabiyah, t. th), h. 366
[37] Amir Syarifuddin, op. cit., h. 105
[38] Ibid., h. 106
[39] Abu Zahrah, op. cit, h. 218
[40] Ibid
[41] Amir Syarifuddin : Wawancara Pribadi, Padang, 29 April 2011

0 Comment